Pendidikan
yang mengharuskan adanya proses pembelajaran memerlukan figur seorang guru/
pendidik yang mempunyai kepribadian. Dan kepribadian yang melekat pada dirinya
bersandar dari aqidah islam. Itulah yang disebut dengan adab.
Kedudukan
adab bagi orang berilmu dan pelajar sangat penting. Diriwayatkan, Imam Malik
bin Anas menghabiskan waktu selama enam belas tahun untuk mempelajari adab dan
empat tahun untuk mencari ilmu. Artinya, beliau memposisikan akhlak pada posisi
penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Riwayat tentang Imam Malik di atas juga dialami oleh Imam Syafi`i dengan
kondisi yang berbeda. Suatu ketika beliau ditanya oleh seseorang, “Bagaimana
engkau mencari (mempelajari) akhlak?.” Dijawab oleh beliau, “Aku mencari adab
seperti usaha seorang ibu yang mencari-cari anaknya yang hilang.” [1]
Guru, engkau adalah pahlawan
tanpa tanda saja” itulah kalimat yang sering kita dengar sejak di sekolah dasar
hingga tingkat menengah atas. Guru sangat berperan penting dalam melahirkan generasi
bangsa, karena di tangannyalah akan lahir orang-orang jenius bermartabat
tinggi, hebat, para ilmuwan dan teknokrat yang tentu menjadi penentu
peradaban manusia. Meskipun demikian, nama guru tidaklah seharum nama pahlawan
nasional yang sering disebut dalam buku sejarah sekolah misalnya Soekarno,
Moh.Hatta ataupun Soedirman. Maka sangatlah wajar jika guru dijuluki sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa.
Saking
pentingnya posisi guru, Islam memberikan derajat yang sangat tinggi untuk
para guru ini. Bahkan pada zaman dulu Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji
kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing
sebesar 15 dinar setiap bulan atau setara dengan 20 juta-an -1 dinar: 4,25 gr
emas-. (Yusanto et.al, 2011:87)[2]
Dengan demikian,
seorang guru harus memiliki adab. Mengapa? Karena dengan memiliki adab, maka
guru ketika melakoni proses pembelajaran akan berlaku profesional dan
bertanggungjawab.
Menteri Agama, Suryadharma Ali
menyatakan bahwa para ulama dan kyai memiliki peran yang sangat besar dalam
pendidikan nasional. Hal ini diungkapkan dalam acara Wisuda Sarjana Strata Satu
STAI al Hamidiyah Bangkalan Madura, Sabtu, 31/07/2010. Di Cirebon, ada
ponpes di Babakan Ciwaringin yang bertusia 300 tahun. Demikian pula Pondok Pesantren
Lirboyo yang berusia 100 tahun. Pesantren an Nuqayah berusia 123 tahun,
Pesantren al Hamidiyah Sen Asen, Bangkalan 135 tahun. Itu artinya peran
pesantren dan ulama atau kyai tentu luar biasa. Peran kyai dan ulama di dalam
pendidikan tentu tidak diragukan. Kita harus mengapresiasi peran para ulama dan
kyai dalam membina para santri baik di masa lalu maupun sekarang. Andaikan
tidak ada ulama dan kyai yang terus menerus memberikan kontribusinya di dalam
dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama, maka tentu kita tidak akan bisa
melihat Indonesia seperti sekarang.[3]
Walaupun ulama dan kyai bergelut
dengan dunia pesantren, akan tetapi pendapat dan pemahaman mereka mengenai
pendidikan merupakan sesuatu yang absah. Tidak ada bedanya antara seorang
ustadz yang mengajari santrinya dengan seorang guru yang mengajari peserta
didiknya. Keduanya sama – sama mentransfer dan meng-copy paste kepribadian yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar